Kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang kontroversial kembali menimbulkan polemik. Kali ini, sasarannya adalah wilayah yang tak terduga: Kepulauan Heard dan McDonald (HIMI) di Antartika. Pulau terpencil ini, yang merupakan habitat penguin dan tak berpenghuni, dikenakan tarif impor 10% oleh pemerintah AS.
HIMI, terletak sekitar 4.000 km di barat daya Perth, Australia, bukanlah sebuah negara. Luasnya hanya sekitar 37.000 hektar, sebanding dengan luas Kota Semarang. Statusnya sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO karena keanekaragaman hayati yang luar biasa, termasuk gunung berapi aktif, gletser, penguin, anjing laut, dan berbagai spesies burung laut, tak mampu menghindarkannya dari kebijakan tarif ini.
Alasan di balik kebijakan kontroversial ini adalah penangkapan ikan di perairan sekitar HIMI. Ikan-ikan yang ditangkap di sana, sebagian diekspor ke Amerika Serikat. Pemerintah AS berargumen bahwa hal inilah yang menjadi dasar penerapan tarif 10% tersebut. Namun, absurdnya kebijakan ini terlihat jelas dari fakta bahwa tidak ada manusia yang tinggal di HIMI, sehingga penerapan prinsip resiprokal menjadi tidak relevan. Netizen bahkan bercanda menyarankan agar para penguin memprotes kebijakan tersebut kepada pemerintah AS.
Dampak Kebijakan terhadap Australia
Secara hukum, HIMI berada di bawah klaim kedaulatan Australia, dikelola oleh Australian Antarctic Division, dan perairannya diatur oleh Australian Fisheries Management Authority. Akibatnya, dampak kebijakan tarif Trump ini justru dirasakan oleh Australia.
Dua perusahaan penangkapan ikan Australia, Austral Fisheries dari Perth dan Australian Longline dari Hobart, menjadi pihak yang paling terdampak. Kedua perusahaan ini menangkap ikan Patagonian Tootfish di sekitar HIMI, dengan kuota maksimal 2.000 ton per tahun untuk semua jenis ikan guna menjaga kelestarian lingkungan.
“Dua pertiga rata-rata tangkapan kami diekspor ke AS,” ungkap Managing Director Australian Longline, Malcom McNeill. Ia menyatakan keheranannya atas kebijakan tarif tersebut dan ketidakpastian dampaknya, baik bagi perusahaan maupun konsumen di AS.
David McCarter, Direktur Austral Fisheries, menambahkan bahwa nilai tangkapan ikan Patagonian Tootfish mencapai USD 50-60 juta per tahun. Ikan ini menjadi hidangan mewah di restoran-restoran terkenal seperti Nobu Group dan penerbangan kelas satu Qantas.
“Ikan ini tidak tergantikan oleh ikan Amerika apapun, jadi menghukum konsumen AS dengan tarif ini agak aneh,” tegas McCarter. Pernyataan ini menggarisbawahi ketidaklogisan kebijakan tarif Trump yang berpotensi merugikan konsumen AS sendiri.
Analisis Kebijakan dan Implikasinya
Kebijakan tarif Trump terhadap HIMI menggambarkan pendekatan proteksionis yang ekstrem dan kurang mempertimbangkan konsekuensi yang lebih luas. Selain merugikan industri perikanan Australia, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan harga ikan Patagonian Tootfish di AS, akhirnya membebani konsumen AS.
Ketidakhadiran manusia di HIMI semakin menggarisbawahi ketidaklogisan penerapan tarif ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan pertimbangan yang mendasari keputusan tersebut. Kejadian ini juga menunjukkan perlunya evaluasi yang lebih cermat terhadap dampak kebijakan proteksionis terhadap perdagangan internasional dan ekosistem global.
Lebih lanjut, insiden ini menyoroti pentingnya kerjasama internasional dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayah-wilayah sensitif seperti Antartika. Kebijakan unilateral seperti ini berpotensi merusak keseimbangan ekosistem dan mengganggu kerja sama internasional yang telah dibangun selama ini.
Kesimpulannya, kebijakan tarif Trump terhadap Kepulauan Heard dan McDonald merupakan contoh nyata kebijakan yang kontraproduktif, tidak logis, dan berpotensi merugikan semua pihak yang terlibat. Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran berharga tentang perlunya mempertimbangkan dampak menyeluruh dari setiap kebijakan, khususnya dalam konteks perdagangan internasional dan kelestarian lingkungan.