Strawberry Parenting: Waspadai Ciri dan Dampaknya pada Anak

Istilah “strawberry parenting” semakin populer seiring meningkatnya kesadaran akan berbagai pola pengasuhan anak. Konsep ini menggambarkan pola asuh yang penuh kasih sayang, namun menyimpan potensi jebakan yang dapat berdampak negatif pada perkembangan anak.

Strawberry parenting, atau pengasuhan seperti stroberi, merupakan gaya pengasuhan yang sangat melindungi anak dari kesulitan dan kegagalan. Mirip dengan “overprotective parenting,” orang tua yang menerapkan gaya ini berusaha sekuat tenaga untuk mencegah anak mengalami pengalaman negatif, baik secara fisik maupun emosional.

Apa Itu Strawberry Parenting?

Menurut Rendra, Psikolog Klinis Anak dan Remaja, serta Konselor dan Wakil Kepala Sekolah di Sekolah Cikal Amri Setu, MPsi, strawberry parenting muncul karena keinginan orang tua untuk melindungi anak dari kesulitan yang pernah mereka alami. “Dilihat dari paparan Rhenald Kasali di bukunya yang berjudul Strawberry Generation, generasi ini muncul karena adanya pandangan di kalangan orang tua bahwa cukup mereka saja yang mengalami kesulitan sementara anak-anaknya jangan merasakan kesulitan yang sama seperti mereka dulu,” jelas Rendra.

Baca Juga :  UGM Berantas Kekerasan Seksual: Guru Besar Farmasi Dipecat

Pandangan ini, meskipun dilandasi niat baik, dapat menghambat perkembangan kemandirian dan kemampuan anak untuk menghadapi tantangan hidup. Dari perspektif psikologis, strawberry parenting hampir sama dengan overprotective parenting.

Ciri-Ciri Strawberry Parenting

Orang tua yang menerapkan strawberry parenting cenderung berlebihan dalam melindungi anak. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mencegah anak mengalami luka, kegagalan, kekecewaan, dan segala bentuk pengalaman yang tidak menyenangkan.

Ciri utama strawberry parenting, yang mirip dengan overprotective parenting, adalah menjauhkan anak dari hal-hal yang dapat menimbulkan luka, baik fisik maupun psikologis. Ini termasuk rasa tidak bahagia, pengalaman buruk, penolakan, kegagalan, kekecewaan, dan penyesalan.

Orang tua dengan pola asuh ini seringkali langsung turun tangan menyelesaikan masalah anak, sehingga anak tidak belajar menghadapi tantangan secara mandiri. “Orang tua yang mengadopsi pola asuh strawberry/overprotective parenting ini umumnya akan terlibat langsung dalam konflik. Misal, dengan menghampiri anak yang berkonflik dan menanyakan alasan mereka berkonflik tanpa sebelumnya berdiskusi dengan orang tua dari anak tersebut,” ungkap Rendra.

Baca Juga :  Ancaman Asteroid 2024 YR4: Risiko Tabrakan Bumi Meningkat, Seberapa Besar Bahayanya?

Mereka bahkan mungkin memarahi anak lain yang terlibat konflik dengan anak mereka, dengan pesan implisit bahwa hanya orang tua mereka yang boleh menegur anak mereka. Hal ini menunjukkan kurangnya kepercayaan pada kemampuan anak untuk menyelesaikan konflik secara damai dan menunjukkan kelekatan yang berlebihan.

Dampak Strawberry Parenting

Anak-anak yang dibesarkan dengan pola asuh strawberry parenting seringkali kesulitan mengelola emosi dan menghadapi stres. Mereka memiliki kemampuan pemecahan masalah yang buruk dan daya juang yang rendah.

Karena terbiasa terlindung dari pengalaman negatif, anak-anak ini tidak siap menghadapi emosi negatif seperti kekecewaan atau kegagalan. “Mereka juga menjadi tidak siap untuk menghadapi stres karena saking cepatnya orang tua mereka bereaksi terhadap hal-hal yang terjadi sehingga mereka tidak memiliki gambaran atau pengalaman sama sekali dalam menghadapi stres. Hal ini membuat daya tahan dan daya juang mereka juga menjadi rendah,” jelas Rendra.

Akibatnya, mereka mungkin rentan terhadap kecemasan, depresi, dan kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang menantang. Kemandirian mereka terhambat, dan mereka mungkin kesulitan dalam menjalin hubungan sosial yang sehat karena kurangnya pengalaman berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang kompleks.

Baca Juga :  Indonesia Juara: Enam Negara Asia dengan Pulau Terbanyak

Alternatif Pola Asuh yang Sehat

Sebagai alternatif, orang tua disarankan untuk menerapkan pola asuh yang mendukung kemandirian dan kemampuan anak dalam menghadapi tantangan. Ini termasuk memberikan kesempatan bagi anak untuk bereksplorasi, mengambil risiko, dan belajar dari kesalahan mereka.

Orang tua perlu membimbing anak untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, mengelola emosi, dan membangun ketahanan mental. Dukungan dan kasih sayang tetap penting, tetapi tidak boleh menghalangi anak untuk belajar dan tumbuh.

Penting untuk diingat bahwa melindungi anak dari semua kesulitan bukanlah hal yang baik. Membiarkan anak mengalami kegagalan dan kesulitan dalam konteks yang aman dan terbimbing akan membantu mereka mengembangkan kemampuan mengatasi masalah dan membangun karakter yang tangguh.

Mengajarkan anak untuk menghadapi tantangan dengan bijak, membangun kepercayaan diri, dan kemampuan memecahkan masalah akan lebih bermanfaat dalam jangka panjang daripada melindungi mereka secara berlebihan. Keseimbangan antara kasih sayang dan dukungan dengan pemberian kesempatan untuk belajar dari pengalaman adalah kunci pola asuh yang sehat.

Dapatkan Berita Terupdate dari MerahMaron di: