Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melontarkan kritik pedas terhadap proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) oleh Komisi III DPR RI. Proses tersebut dianggap minim transparansi dan partisipasi publik. Kritik ini disampaikan Ketua Umum YLBHI, M. Isnur, usai pertemuan informal dengan Komisi III DPR dan Koalisi Masyarakat Sipil.
Isnur menyoroti munculnya draf RUU KUHAP secara tiba-tiba, tanpa melibatkan publik secara memadai. Ia khawatir substansi dalam draf justru membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum, khususnya selama tahap penyidikan. YLBHI mendesak agar proses pembahasan diperbaiki dengan peningkatan transparansi dan keterbukaan.
Kurangnya Transparansi dan Partisipasi Publik
Ketidakhadiran transparansi dan partisipasi publik yang memadai dalam proses penyusunan RUU KUHAP menjadi sorotan utama YLBHI. Proses yang tertutup ini dikhawatirkan akan menghasilkan undang-undang yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan berpotensi merugikan hak-hak asasi manusia.
YLBHI menekankan pentingnya pelibatan berbagai elemen masyarakat, termasuk perempuan, buruh, nelayan, anak, penyandang disabilitas, dan akademisi. Dengan melibatkan mereka, RUU KUHAP diharapkan dapat mengakomodasi perspektif dan permasalahan yang beragam dari berbagai lapisan masyarakat.
Kekhawatiran Terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan
Salah satu kekhawatiran utama YLBHI adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Draf RUU KUHAP yang dinilai kurang transparan dapat memberikan ruang bagi praktik-praktik yang melanggar HAM, seperti penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan kematian dalam tahanan.
Untuk mencegah hal tersebut, YLBHI mendesak agar RUU KUHAP disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip HAM dan memastikan perlindungan terhadap hak-hak individu. Proses penyusunan harus melibatkan ahli hukum, pakar HAM, dan organisasi masyarakat sipil yang kredibel.
Seruan untuk Proses yang Lebih Terbuka dan Partisipatif
YLBHI menyerukan agar proses pembahasan RUU KUHAP dilakukan secara terbuka, jujur, dan partisipatif. Setiap tahapan penyusunan, mulai dari perumusan draf hingga pengesahan, harus diinformasikan secara transparan kepada publik. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap proses legislasi.
YLBHI juga mengingatkan pentingnya menghindari tergesa-gesa dalam pembahasan RUU KUHAP. RUU ini harus disusun dengan matang dan menampung aspirasi dari seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir elite. Proses yang terburu-buru berpotensi menghasilkan produk hukum yang cacat dan tidak efektif.
Minimnya Kehadiran Anggota Komisi III
Isnur menyayangkan minimnya kehadiran anggota Komisi III DPR dalam pertemuan informal tersebut. Hanya Ketua Komisi III yang hadir. Meskipun demikian, Isnur mengapresiasi niat baik Ketua Komisi III yang ingin memperbaiki KUHAP berdasarkan pengalamannya sebagai advokat publik dan korban penyiksaan.
Namun, kehadiran yang minim dari anggota Komisi III menunjukkan kurangnya komitmen terhadap partisipasi publik dan transparansi dalam proses penyusunan RUU KUHAP. Hal ini semakin memperkuat kritik YLBHI terhadap proses penyusunan yang kurang ideal.
Kesimpulan
RUU KUHAP merupakan instrumen penting dalam penegakan hukum dan perlindungan HAM di Indonesia. Proses penyusunannya harus melibatkan masyarakat secara luas dan transparan agar menghasilkan produk hukum yang berkeadilan dan berpihak pada kepentingan rakyat. YLBHI berharap pemerintah dan DPR RI dapat mendengarkan kritik dan rekomendasi ini untuk menciptakan proses legislasi yang lebih baik.
Proses yang transparan dan partisipatif akan menghasilkan RUU KUHAP yang lebih berkualitas, efektif, dan mampu melindungi hak asasi manusia seluruh warga negara Indonesia. Proses yang tertutup dan tergesa-gesa justru akan berpotensi menimbulkan masalah hukum dan pelanggaran HAM baru di masa depan.