Momentum pasca Idul Fitri menyimpan potensi luar biasa untuk meningkatkan produktivitas dan menjadi pribadi yang lebih baik. Setelah menjalani ibadah puasa Ramadan, kita seharusnya memiliki semangat baru dan kedisiplinan yang lebih tertanam.
Namun, seringkali semangat tersebut memudar seiring kembali ke rutinitas normal. Bagaimana kita mempertahankan semangat dan kedisiplinan Ramadan untuk meningkatkan produktivitas? Kuncinya terletak pada pembentukan kebiasaan positif yang konsisten.
James Clear, dalam bukunya “Atomic Habits”, menekankan bahwa perubahan besar berasal dari akumulasi kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten. Ramadan memberikan kesempatan ideal untuk membentuk kebiasaan baik, dan Idul Fitri menjadi titik awal untuk meneruskannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selama Ramadan, kita telah membangun “habit loop”: isyarat (adzan subuh), rutinitas (sahur dan sholat), dan penghargaan (kepuasan spiritual). Ini menunjukkan betapa kita mampu membentuk kebiasaan baru, bahkan yang menantang sekalipun.
Lebih lanjut, membangun kebiasaan berbasis identitas (“identity-based habits”) sangat krusial. Dengan meyakini, “Saya adalah orang yang disiplin dan bangun pagi,” kebiasaan tersebut akan terasa lebih mudah dan menjadi bagian dari jati diri kita.
Memanfaatkan Momentum Pasca Ramadan untuk Produktivitas
Ramadan telah melatih kita untuk bangun pagi, mengatur waktu dengan efektif, dan menjaga pikiran dari hal-hal negatif. Sangat disayangkan jika setelah Idul Fitri, kita kembali pada pola hidup yang tidak teratur.
Hadits Nabi Muhammad SAW mengingatkan kita akan pentingnya perbaikan diri setiap hari: “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka” (HR Hakim).
Hadits ini menggarisbawahi pentingnya produktivitas dan perbaikan diri sebagai bagian dari ajaran Islam. Ramadan dan Idul Fitri menjadi momentum untuk mencapai hal tersebut.
Konsep “fresh start effect” juga berperan. Momen transisi besar seperti Idul Fitri memberi dorongan psikologis untuk memulai hal baru dan mengubah pola hidup. Ini adalah kesempatan emas untuk memulai kembali dan mencapai target produktivitas yang lebih tinggi.
Namun, semangat ini perlu diimbangi dengan sistem yang terstruktur. Motivasi bersifat fluktuatif, sedangkan sistem bersifat permanen. Bangun sistem yang mendukung kebiasaan produktif agar semangat pasca-Lebaran tetap terjaga.
Meredefinisi Produktivitas
Definisi produktivitas telah berubah. Bukan hanya soal kecepatan atau kuantitas, tetapi juga kebermaknaan. Ramadan mengajarkan kita untuk mengisi waktu dengan nilai-nilai positif.
Pasca Idul Fitri, mari kita definisikan ulang produktivitas sebagai kemampuan menghasilkan karya yang berdampak positif, bukan sekadar menyelesaikan tugas. Ini selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan selama Ramadan.
Menjadi Manusia yang Lebih Baik Pasca Ramadan
Esensi Ramadan dan Idul Fitri adalah transformasi diri. Dari konsumtif menjadi kontemplatif, dari reaktif menjadi proaktif, dan dari sibuk menjadi produktif.
Setiap tindakan kecil membentuk identitas kita. Keputusan kita pasca-Lebaran—bangun pagi, menahan emosi, dan terus berkarya—akan memperkuat jati diri kita yang baru. Kita telah berlatih selama sebulan penuh, saatnya untuk “naik kelas”.
Tempatkan karya sebagai ibadah. Bekerja, menuntut ilmu, dan berbagi manfaat adalah bentuk ibadah dalam Islam. Semangat produktivitas pasca Idul Fitri bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk Tuhan dan sesama.
Idul Fitri telah membersihkan hati. Sekarang, bersihkan niat, perkuat sistem, dan bangun kebiasaan kecil yang berujung pada karya besar. Semoga semangat Ramadan terus berlanjut sepanjang tahun, menghasilkan produktivitas yang sehat, konsisten, dan bermakna.
*) Dr M Hasan Chabibie
Staf Ahli Menteri Bidang Peningkatan Ekosistem Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek
Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Depok
(nwk/nwk)