Tagar #KaburAjaDulu yang viral di media sosial memicu beragam reaksi, tak terkecuali dari kalangan pejabat. Beberapa pejabat bahkan meresponnya dengan nada negatif, menudingnya sebagai kurang patriotik dan meragukan nasionalisme.
Ada pula yang berujar sinis, “Mau kabur, kabur saja! Kalau perlu jangan balik lagi.” Namun, benarkah tagar ini menjadi indikasi masa depan Indonesia yang suram? Mari kita analisis lebih dalam.
Pengalaman penulis di dunia korporasi menunjukkan, saat perusahaan menghadapi masalah seperti suasana kerja yang buruk atau krisis keuangan, karyawan terbaik cenderung lebih dulu hengkang. Mereka yang memiliki keahlian, ilmu, dan pengalaman lebih mudah mendapatkan pekerjaan baru.
Yang tersisa biasanya adalah karyawan yang loyal, namun sebenarnya juga ingin pindah, tetapi belum menemukan peluang yang lebih baik. Analogi ini perlu dikaji lebih mendalam untuk melihat apakah fenomena tersebut berlaku serupa pada konteks negara.
Apakah Indonesia Akan Ditinggalkan Orang-orang Terbaiknya?
Pertanyaan ini memang krusial. Tidak semua orang mampu mewujudkan impian bekerja di luar negeri. Namun, konteks “kabur” untuk individu dan negara sangatlah berbeda.
Mereka yang bekerja di luar negeri, khususnya sebagai pekerja migran, sebenarnya berkontribusi besar pada perekonomian Indonesia. Mereka menjadi pahlawan devisa.
Mereka rela meninggalkan keluarga dan tanah air untuk mengejar mimpi memperbaiki kehidupan, menghadapi tantangan adaptasi di negara asing, bahkan berhadapan dengan bos yang galak, budaya yang berbeda, dan risiko kriminalitas.
Ironisnya, di beberapa negara, pekerja kasar justru mendapatkan gaji lebih tinggi dan penghormatan yang lebih baik dibanding di Indonesia. Uang yang mereka kirim ke keluarga di Indonesia membantu meningkatkan taraf hidup keluarga, termasuk biaya pendidikan adik-adik mereka.
Secara agregat, pengiriman uang ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan tentu saja, devisa negara. Mereka layak disebut pahlawan devisa, bukan sekadar “pengkhianat” seperti tudingan beberapa pejabat.
Bayangkan jika tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai, kemiskinan dan tekanan ekonomi dapat mendorong mereka ke jalan kriminalitas. Bukan karena malas atau ingin menjadi penjahat, tetapi karena keterbatasan pilihan.
Contohnya, perebutan posisi kerja yang sangat kompetitif, seperti lowongan kerja di warung seblak yang hanya menyediakan 20 posisi, namun dibanjiri ratusan pelamar.
Banyak pekerja migran menyatakan keinginan untuk kembali ke Indonesia setelah cukup menabung, untuk membuka usaha. Ini membuktikan kecintaan mereka pada tanah air. Jadi, pernyataan “kalau perlu jangan balik lagi” sungguh tidak tepat.
Perlukah Kita Menahan Orang-orang Terbaik Kita?
Ada anggapan bahwa kita perlu menahan anak muda terbaik agar tidak “kabur”, demi pembangunan Indonesia Emas. Pandangan ini keliru. Kita perlu belajar dari Tiongkok.
Tiongkok mengirimkan anak mudanya yang terbaik untuk belajar di universitas-universitas ternama di dunia, terutama di Amerika Serikat. Mereka mendapatkan beasiswa atau berjuang sendiri.
Mengapa tidak kuliah di dalam negeri? Karena pada masa lalu, universitas-universitas Tiongkok masih jauh tertinggal dalam peringkat dunia. Sekolah-sekolah top masih didominasi AS dan Eropa.
Banyak dari mereka yang tetap bekerja di AS setelah lulus, menjadi ahli di bidangnya. Ini bukan masalah. Justru, setelah Tiongkok mengalami kemajuan pesat, para ahli ini kembali ke negaranya.
Mereka membawa kembali keahlian dan teknologi, meningkatkan daya saing Tiongkok. Universitas-universitas Tiongkok kini masuk 10 besar universitas terbaik dunia, berkat investasi dan pengembangan SDM tersebut.
Kesimpulan: #KaburAjaDulu Bukan Indikator Indonesia Gelap
Tagar #KaburAjaDulu bukan berarti Indonesia gelap. Ini adalah cerminan masalah yang perlu dibenahi. Kita perlu menciptakan lapangan kerja yang layak, menarik kembali talenta terbaik kita yang telah berkarya di luar negeri.
Pemerintah dan swasta perlu memberikan lebih banyak beasiswa bagi putra-putri terbaik Indonesia untuk belajar di luar negeri. Mari kita sambut karya mereka dan wujudkan Indonesia Emas 2045, bukan dengan menahan, tetapi dengan memfasilitasi.
Jadi, tagar #KaburAjaDulu bisa menjadi solusi, bukan masalah. Ini menunjukkan kebutuhan akan perbaikan sistem dan kesempatan yang lebih baik bagi generasi muda Indonesia.
Dr. Hans Kwee, Co-Founder PasaRDana dan Dosen Magister FEB Unika Atma Jaya