Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang pembatasan belanja publikasi pemerintah telah menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pers Indonesia. Inpres ini, yang dikeluarkan pada 22 Januari 2025, menambah beban bagi industri media yang sudah menghadapi tantangan finansial signifikan sebelumnya.
Sebelum Inpres tersebut, anggaran belanja publikasi sudah mengalami pengurangan baik di tingkat nasional (UU APBN 2025) maupun daerah (Perda APBD 2025). Inpres 1/2025 semakin memperparah situasi, membuat pengelola media, terutama media cetak yang tengah menghadapi penurunan jumlah pembaca, merasa cemas akan kelangsungan usahanya.
Media kecil dengan modal terbatas, seperti yang hanya memiliki akta notaris, domain website, dan kartu pers, terutama merasakan dampaknya. Industri media yang lebih besar pun ikut terguncang. Media alternatif yang berpegang teguh pada idealisme jurnalistik juga terdampak karena berkurangnya kerja sama dengan pemerintah daerah.
Dampak Pembatasan Belanja Publik: Ancaman Bagi Kebebasan Pers
Jakob Oetama, pendiri Kompas-Gramedia, menekankan bahwa media memiliki dua sisi: bisnis dan idealisme. Keberlangsungan media membutuhkan pendanaan yang cukup untuk operasional dan kesejahteraan karyawan. Meskipun ada dukungan dari sektor swasta, BUMN, BUMD, NGO, dan lembaga donor, ketergantungan pada anggaran pemerintah tetap signifikan.
Pembatasan belanja publikasi pemerintah, yang diawasi ketat oleh lembaga pengawas pembangunan, menjadi pukulan telak bagi industri media Indonesia. Situasi ini semakin ironis karena terjadi hanya beberapa hari sebelum Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap tanggal 9 Februari.
Peringatan HPN tahun 2025, yang dirayakan di dua lokasi berbeda (Pekanbaru dan Banjarmasin), tampaknya tidak membahas secara signifikan isu krusial ini. Ironi ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi industri media Indonesia belum mendapat perhatian yang cukup.
Para pengelola media merespon dengan berbagai cara; sebagian mengekspresikan kekhawatiran melalui pemberitaan, sebagian lagi berupaya meningkatkan fungsi kontrol sosial. Namun, penting untuk diingat bahwa fungsi kontrol sosial harus dilakukan dengan etika dan integritas tinggi, mencegah “trial by press” yang dapat merugikan semua pihak.
Harapan akan Kebijakan yang Lebih Arif dan Bijaksana
Diharapkan Presiden Prabowo Subianto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta kepala daerah lainnya dapat lebih bijaksana dalam menangani pembatasan belanja publikasi. Efisiensi anggaran memang perlu dilakukan, tetapi pemangkasan yang berlebihan dapat membahayakan industri media.
Media massa dianggap sebagai pilar keempat demokrasi, dan informasi yang disampaikan oleh media adalah “darah” bagi demokrasi yang sehat (menurut Profesor Natalie Fenton). Informasi yang disampaikan media sangat penting bagi publik untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan program-program prioritas nasional.
Pembatasan anggaran yang tidak mempertimbangkan aspek ini dapat menghambat transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Komitmen Prabowo-Gibran terhadap kebebasan pers, yang tercantum dalam visi-misinya, harus diwujudkan bukan hanya dengan janji, tetapi juga dengan dukungan anggaran yang memadai.
Evaluasi bagi Industri Media: Politik dan Ekonomi
Industri media Indonesia juga perlu melakukan evaluasi diri. Pasca reformasi, UU Pers No. 40/1999 dan UU Penyiaran No. 32/2002 membuka jalan bagi pertumbuhan media yang pesat. Namun, liberalisasi politik sering kali berarti juga liberalisasi ekonomi, yang mengakibatkan potensi penyalahgunaan media untuk kepentingan politik atau ekonomi.
Media tidak boleh hanya dilihat sebagai entitas bisnis semata. Tanggung jawab sosial dan kualitas jurnalisme tidak boleh diabaikan. Menurunnya kualitas jurnalisme dan rendahnya kesejahteraan wartawan merupakan masalah serius yang harus diatasi.
Penerapan kode etik jurnalistik dan kode perilaku di setiap media sangat penting untuk menjaga etika dan integritas profesi. Di era informasi digital yang cepat berkembang, membedakan antara informasi jurnalistik dan non-jurnalistik menjadi semakin sulit, sehingga penting untuk memperkuat literasi media di kalangan publik.
Jurnalisme masa kini harus mampu menyajikan informasi yang mendalam dan analitis, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip jurnalisme. Semoga Hari Pers Nasional menjadi momentum untuk mengatasi tantangan yang dihadapi industri media dan memastikan kebebasan pers tetap terjaga.
M. Fajar Rillah Vesky, Anggota DPRD Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat; wartawan Nonaktif Padang Ekspres (Jawa Pos Group).