Kerusuhan di Lapas Narkotika Kelas IIA Muara Beliti, Musi Rawas, Sumatera Selatan, pada 8 Mei 2025, menyoroti permasalahan sistemik dalam pengawasan dan tata kelola lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Insiden ini, dipicu oleh razia ponsel, mengakibatkan kerusakan fasilitas dan menuntut tindakan segera.
Ketua Komisi III DPR RI, Willy Aditya, menyatakan kerusuhan ini sebagai panggilan untuk pembenahan sistemik. Lapas seharusnya menjadi tempat pembinaan dan reintegrasi sosial, bukan sekadar tempat hukuman. Praktiknya, warga binaan seringkali masih dipandang sebagai “pesakitan”, menciptakan lingkungan yang rawan konflik.
Willy menekankan perlunya program rehabilitasi yang komprehensif dan SDM yang terlatih dalam keterampilan sosial untuk mengelola lapas. Lapas dan rutan harus menjadi ruang pemulihan dan perbaikan, bukan hanya tempat penahanan. Pengelolaan yang efektif memerlukan pendekatan humanis.
Permasalahan Sistemik dalam Pengelolaan Lapas
Reformasi pengelolaan lapas membutuhkan pendekatan multi-faceted. Hal ini meliputi perbaikan metodologi rehabilitasi, peningkatan sistem pengawasan internal, revisi regulasi yang lebih ketat, dan penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik.
Evaluasi menyeluruh terhadap seluruh lapas di Indonesia sangat penting. Aspek yang perlu diperhatikan meliputi penerapan aturan, transparansi dalam pengelolaan, dan efektivitas program pembinaan dan rehabilitasi. Konsistensi penegakan aturan dan program deradikalisasi yang efektif menjadi kunci keberhasilan.
Tantangan dalam Pembinaan Warga Binaan
Salah satu tantangan utama adalah mengubah pola pikir lama yang masih memandang warga binaan sebagai “pesakitan”. Perlu perubahan paradigma menuju pendekatan yang lebih humanis dan berfokus pada pemulihan dan reintegrasi sosial.
Program pembinaan harus dirancang untuk membekali warga binaan dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat berkontribusi positif bagi masyarakat setelah menjalani masa hukuman. Keterampilan vokasional, konseling, dan pendidikan sangat penting dalam proses ini.
Peran Pemerintah dan DPR
Pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, memiliki tanggung jawab utama dalam memperbaiki sistem pemasyarakatan. DPR akan terus mengawasi dan mendukung upaya perbaikan ini, memastikan komitmen bersama untuk meningkatkan kualitas pembinaan di lapas dan rutan.
Harapannya, warga binaan yang telah menjalani masa hukuman dapat kembali ke masyarakat sebagai individu yang produktif dan bertanggung jawab. Ini membutuhkan komitmen dan kerja sama dari semua pihak yang terlibat dalam sistem pemasyarakatan.
Solusi Jangka Panjang
Untuk mengatasi masalah ini secara berkelanjutan, dibutuhkan strategi jangka panjang yang komprehensif. Ini termasuk peningkatan anggaran untuk pelatihan petugas lapas, pengembangan program rehabilitasi yang lebih efektif, dan peningkatan pengawasan terhadap operasional lapas.
Teknologi juga dapat berperan penting dalam meningkatkan pengawasan dan keamanan lapas. Sistem pengawasan berbasis teknologi, seperti CCTV dan sistem deteksi dini, dapat membantu mencegah kerusuhan dan meningkatkan keamanan.
Terakhir, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan lapas sangat penting untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan bahwa dana yang dialokasikan digunakan secara efektif dan efisien.
Dengan komitmen dari semua pihak yang terlibat, perbaikan sistem pemasyarakatan di Indonesia dapat terwujud, sehingga lapas benar-benar berfungsi sebagai tempat pembinaan dan reintegrasi sosial bagi warga binaan.