Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan dan Juru Bicara Istana, Dr. Ujang Komarudin, menekankan pentingnya komunikasi pemerintah yang utuh dan seimbang. Banyak program strategis Presiden Prabowo Subianto yang belum tersosialisasikan optimal kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan munculnya kritik dan serangan yang, meskipun sah dalam demokrasi, harus diimbangi dengan penyampaian fakta.
Ujang menyampaikan hal ini dalam Diskusi Publik “Komunikasi Merah Putih” di Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Selain Ujang, hadir Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, dan Plt. Rektor Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Muhammad Saifulloh. Diskusi ini membahas tantangan komunikasi publik pemerintah di era digital yang penuh disinformasi.
Capaian Pemerintah dalam Tujuh Bulan Pertama
Ujang memaparkan sejumlah capaian penting pemerintahan Kabinet Merah Putih, termasuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah menjangkau lebih dari 3 juta penerima manfaat. Program ini bahkan mendapat perhatian internasional, dibuktikan dengan kunjungan Bill Gates ke Indonesia untuk melihat langsung implementasinya. Keberhasilan ini, sayangnya, seringkali tertutupi oleh narasi negatif di media sosial.
Selain MBG, ada juga Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang memberikan akses kesehatan kepada jutaan masyarakat. Ujang juga menyoroti reformasi pendataan sosial melalui Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk meningkatkan keakuratan penyaluran bantuan sosial dan subsidi. Meskipun demikian, Ujang mengakui adanya kekurangan, seperti insiden keracunan dalam program MBG yang langsung ditangani dan dievaluasi oleh Menteri Kesehatan.
Tantangan Komunikasi Publik di Era Disinformasi
Ismail Fahmi dari Drone Emprit menyoroti tantangan besar pemerintah dalam mengelola komunikasi publik, terutama di tengah maraknya disinformasi. Sebagai contoh, klarifikasi resmi pemerintah terkait vaksin TBC kalah cepat dibanding narasi negatif yang disebarluaskan oleh kelompok oposisi dan akun-akun antivaksin. Narasi negatif tersebut, misalnya, menyebut Indonesia sebagai kelinci percobaan dan mengaitkannya dengan kasus lumpuh pada anak-anak di India.
Berdasarkan pantauan Drone Emprit, sentimen negatif terkait vaksin TBC mencapai 63 persen, jauh lebih tinggi daripada sentimen positif (33 persen). Twitter, meskipun memiliki jumlah pengguna lebih sedikit dibandingkan platform lain, terbukti berpengaruh besar dalam membentuk opini publik. Aktor utama penyebaran narasi negatif adalah akun-akun oposisi, akun anonim, dan kelompok antivaksin yang kerap mengaitkan program pemerintah dengan teori konspirasi.
Meskipun pemerintah telah melakukan klarifikasi melalui Kantor Staf Presiden, Kementerian Kesehatan, dan media arus utama, narasi positif masih kalah cepat. Ismail menekankan pentingnya strategi komunikasi yang proaktif, bukan reaktif. Pemerintah harus membangun narasi dari awal dan melibatkan kolaborasi lintas sektor, termasuk akademisi, media, dan institusi pendidikan, untuk melawan penyebaran hoaks.
Perlunya Strategi Komunikasi yang Lebih Komprehensif
Baik Ujang maupun Ismail sepakat bahwa pemerintah perlu strategi komunikasi yang lebih komprehensif dan proaktif. Ini mencakup sosialisasi program yang lebih efektif, memanfaatkan media sosial secara strategis, dan membangun kemitraan dengan influencer dan tokoh masyarakat. Selain itu, penting juga untuk membangun kepercayaan publik melalui transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintah perlu meningkatkan literasi digital masyarakat agar lebih kritis dalam menerima informasi. Kampanye melawan hoaks dan disinformasi juga perlu ditingkatkan. Kolaborasi antar kementerian dan lembaga juga penting untuk memastikan konsistensi pesan dan efektifitas strategi komunikasi.
Keberhasilan program pemerintah tidak hanya bergantung pada implementasi yang baik, tetapi juga pada kemampuan untuk mengkomunikasikannya kepada publik secara efektif. Dengan demikian, pemerintah perlu terus belajar dan beradaptasi dengan dinamika komunikasi di era digital ini.