Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam penambahan kuota haji tahun 2024. Kasus ini berpotensi menyeret Presiden Jokowi karena kebijakan penambahan kuota tersebut diambil pada masa pemerintahannya. Dugaan penyelewengan melibatkan 20 ribu kuota haji tambahan, dengan perkiraan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan KPK tidak akan pilih kasih dalam memanggil saksi. Pemanggilan Jokowi, jika diperlukan penyidik, tetap menjadi kemungkinan. “KPK terbuka untuk memanggil siapa saja yang diduga mengetahui konstruksi perkara ini dan dapat membantu membuka serta membuat terang penanganan perkara ini,” tegas Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (11/8).
Penambahan kuota haji tersebut merupakan hasil lobi Presiden Jokowi kepada pemerintah Arab Saudi. Tujuannya untuk mengurangi masa tunggu jamaah haji yang mencapai 15 tahun. Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan hal ini. “Tambahan 20 ribu kuota ini hasil pertemuan Presiden RI (saat itu Jokowi) dengan pemerintah Arab Saudi. Alasannya karena antrean haji reguler sampai 15 tahun lebih,” ujar Asep, Sabtu (9/8) dini hari.
Namun, mekanisme pendistribusian kuota tambahan tersebut diduga menyimpang dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Aturan tersebut mensyaratkan 92 persen kuota untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus. Faktanya, pembagian kuota tambahan dilakukan 50:50, yaitu 10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus.
Akibat pembagian yang tidak sesuai aturan ini, negara diperkirakan mengalami kerugian lebih dari Rp 1 triliun. Asep menjelaskan pelanggaran hukum tersebut. “Itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, karena dibagi dua tidak sesuai aturan,” jelasnya. KPK saat ini masih menyelidiki siapa pihak yang memerintahkan pembagian kuota yang tidak sesuai aturan dan kemana aliran dana tersebut mengalir.
Proses penyidikan terus berjalan. KPK berfokus pada pencarian pihak yang memberikan perintah untuk kebijakan ilegal tersebut dan pihak-pihak yang menerima aliran dana. Potensi tersangka pun terkait dengan alur perintah dan aliran dana tersebut. “Potensial tersangkanya tentu terkait alur perintah dan aliran dana. Siapa yang memerintahkan pembagian kuota tidak sesuai aturan ini,” pungkas Asep.
Lebih lanjut, investigasi KPK juga akan menelusuri detail mekanisme pengadaan dan pengelolaan dana terkait dengan kuota haji tambahan tersebut. Hal ini termasuk memeriksa dokumen-dokumen terkait, melakukan audit keuangan, dan memeriksa saksi-saksi yang terlibat dalam proses tersebut. Tujuannya untuk memastikan seluruh aspek dugaan korupsi terungkap secara transparan dan akuntabel.
Selain itu, KPK juga akan berkoordinasi dengan instansi terkait, seperti Kementerian Agama dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), untuk memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan dalam proses penyidikan. Kerjasama antar lembaga ini diharapkan dapat mempercepat dan mempermudah proses pengungkapan kasus ini.
Proses hukum akan berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku, dan KPK berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini hingga tuntas. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses penegakan hukum menjadi prioritas utama KPK dalam menangani kasus ini. Publik diharapkan bersabar dan menunggu proses hukum berjalan hingga menghasilkan keputusan yang adil dan objektif.