Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah meningkatkan status penyelidikan dugaan korupsi kuota haji 2024 ke tahap penyidikan. Langkah ini menandai babak baru dalam pengungkapan kasus yang diduga merugikan keuangan negara. Potensi tersangka dalam kasus ini meliputi berbagai pihak yang diuntungkan dari alokasi kuota haji khusus yang seharusnya dialokasikan untuk haji reguler.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan potensi tersangka meliputi mereka yang menerima aliran dana terkait pembagian kuota haji. Aliran dana tersebut bisa berasal dari berbagai pihak, termasuk oknum pemerintah, Kementerian Agama, dan perusahaan travel. Pihak-pihak ini diduga melanggar aturan dalam pembagian kuota haji.
“Orang-orang yang mendapat aliran dana, aliran dana baik itu dalam konteks karena pembagian kuota,” ungkap Asep kepada wartawan. Ini menunjukkan KPK fokus pada jejak uang dalam kasus ini. Mereka menyelidiki siapa saja yang diuntungkan secara finansial dari manipulasi kuota haji.
Asep lebih lanjut menjelaskan bahwa potensi tersangka juga mencakup oknum di pemerintah atau Kementerian Agama yang terlibat dalam pengambilan keputusan yang tidak sesuai aturan. Keputusan tersebut diduga menghasilkan keuntungan finansial bagi pihak-pihak tertentu.
“Misalkan dari pihak pemerintah, oknum pihak pemerintah atau Kementerian Agama yang karena keputusannya memberikan kuota haji ini tidak sesuai dengan aturan, kemudian mendapatkan sejumlah uang. Nah itu akan menjadi obyek, untuk kami minta pertanggungjawaban,” jelas Asep. Pernyataan ini menggarisbawahi penyelidikan terhadap pejabat yang mungkin terlibat.
Selain oknum pemerintah, perusahaan travel juga menjadi fokus penyelidikan. Perusahaan travel yang menerima kuota haji khusus secara tidak sah juga berpotensi menjadi tersangka. KPK akan menelusuri alur dana dan mencari bukti keterlibatan mereka dalam skandal ini.
“Kemudian juga tentunya perusahaan-perusahaan ya, perusahaan travel di mana mereka yang seharusnya tidak menerima kuota tersebut,” tambahnya. Ini menegaskan bahwa penyelidikan bukan hanya berfokus pada individu, tetapi juga pada entitas bisnis yang terlibat.
Kasus ini berawal dari penambahan kuota haji sebanyak 20.000 jemaah yang disepakati antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi. Penambahan kuota ini, seharusnya diperuntukkan bagi jemaah haji reguler guna mengurangi masa tunggu yang mencapai 15 tahun.
Namun, diduga terjadi penyimpangan. Kuota tambahan tersebut malah dialokasikan sebagian besar ke haji khusus. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang menetapkan pembagian kuota 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
“Jadi seharusnya yang 20 ribu ini karena alasannya adalah untuk memperpendek jarak tunggu atau memperpendek waktu tunggu haji reguler, seharusnya keseluruhan diberikan kepada haji reguler karena alasannya minta itu. Bukan alasan untuk meminta untuk tambahan kuota haji khusus,” tegas Asep. Pernyataan ini menjelaskan pelanggaran aturan yang mendasari dugaan korupsi.
Dalam penyelidikan ini, KPK menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara dan memperkaya diri sendiri atau orang lain.
“Kemudian, nanti siapa yang diuntungkan gitu ya dengan pasal ini, yang diuntungkan adalah tadi, menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi,” kata Asep. Ini menjelaskan dasar hukum yang digunakan KPK dalam penyelidikan.
Meskipun KPK telah meningkatkan kasus ke tahap penyidikan, belum ada tersangka yang ditetapkan. KPK juga belum merilis besaran kerugian keuangan negara yang disebabkan oleh dugaan korupsi ini. Namun, KPK telah menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung secara rinci kerugian tersebut.
“Pembagiannya ke mana saja gitu, ke travel mana saja, atau asosiasi travel mana saja. Nah dari sana hasil kami komunikasi dan koordinasi dengan pihak BPK, itulah yang akan kita kejar,” ujar Asep. Kerjasama dengan BPK ini menunjukan komitmen KPK untuk memastikan perhitungan kerugian negara yang akurat.
Kenaikan status kasus ke tahap penyidikan ini dilakukan setelah KPK memeriksa mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, pada 7 Agustus. KPK berencana memanggil kembali Yaqut untuk dimintai keterangan lebih lanjut dalam proses penyidikan.
“Kita juga akan jadwalkan untuk pemanggilan terhadap beberapa pihak, termasuk saudara YCQ. Karena kalau panggilan yang kemarin, hari Kamis, itu masih dalam proses penyelidikan,” pungkas Asep. Ini menunjukkan bahwa mantan Menag masih menjadi fokus penyelidikan KPK.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena menyangkut ibadah haji, yang merupakan kegiatan keagamaan penting bagi umat muslim. Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kuota haji sangat penting untuk mencegah praktik korupsi dan memastikan penyelenggaraan ibadah haji berjalan lancar dan adil bagi seluruh jemaah. Penyelidikan KPK diharapkan dapat mengungkap seluruh pihak yang terlibat dan memberikan keadilan bagi masyarakat.