Usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto, telah memicu perdebatan sengit di Indonesia. Ketua DPR RI, Puan Maharani, menekankan pentingnya proses kajian yang obyektif oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan sebelum keputusan final diambil. Beliau menyatakan, “Setiap usulan gelar itu ada dewan kehormatan atau dewan yang mengkaji siapa saja yang bisa menerima atau tidak menerima.” Proses ini, menurut Puan, harus dihormati dan dibiarkan berjalan sesuai prosedur.
Puan, yang juga merupakan cucu dari Presiden Pertama RI, Soekarno, mengajak semua pihak untuk menyerahkan proses penilaian sepenuhnya kepada dewan yang berwenang. Hal ini untuk memastikan objektivitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Ia berharap kajian yang dilakukan dewan dapat mempertimbangkan semua aspek secara menyeluruh dan tidak terburu-buru.
Pernyataan Puan ini muncul setelah sejumlah aktivis dari Gerakan Reformasi 1998 secara tegas menolak wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto. Penolakan tersebut disampaikan dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Refleksi 27 Tahun Reformasi: Soeharto Pahlawan atau Penjahat HAM?’, yang diadakan di Jakarta pada 24 Mei lalu. Para aktivis berpendapat bahwa pemberian gelar tersebut bertentangan dengan semangat reformasi.
Para aktivis 98 menilai rekam jejak Soeharto selama masa Orde Baru sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan tindakan represif terhadap gerakan rakyat. Mereka menganggap pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto sebagai penghinaan terhadap korban pelanggaran HAM dan pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang telah susah payah diperjuangkan.
Perdebatan Seputar Gelar Pahlawan Nasional
Debat mengenai kelayakan Soeharto menerima gelar pahlawan nasional merupakan perdebatan yang kompleks dan melibatkan berbagai perspektif. Di satu sisi, pendukung pemberian gelar tersebut mungkin akan menitikberatkan pada sejumlah prestasi ekonomi dan pembangunan infrastruktur di masa kepemimpinannya. Mereka mungkin akan mengklaim bahwa pembangunan ekonomi di bawah kepemimpinan Soeharto telah membawa Indonesia keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Namun, argumen ini seringkali diimbangi dengan catatan kelam mengenai pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru. Pembantaian massal di peristiwa 1965/1966, penculikan aktivis, dan penindasan terhadap kebebasan berekspresi menjadi beberapa contoh pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto. Oleh karena itu, pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto dinilai tidak tepat dan bahkan menyinggung banyak pihak.
Aspek yang Perlu Dipertimbangkan Dewan Gelar
Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan memiliki tanggung jawab berat untuk mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengambil keputusan. Mereka perlu menganalisis secara komprehensif berbagai sumber informasi, termasuk arsip pemerintah, kesaksian korban, dan berbagai literatur akademis. Kriteria penilaian yang transparan dan obyektif sangat penting untuk mencegah kontroversi dan menjaga integritas proses penetapan gelar pahlawan nasional.
Selain itu, Dewan Gelar juga perlu mempertimbangkan konteks sejarah dan dampak keputusan mereka terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Keputusan untuk memberikan gelar pahlawan nasional harus mendapat dukungan luas dari masyarakat dan tidak menimbulkan perpecahan.
Kesimpulannya, proses penetapan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto membutuhkan kajian yang mendalam, objektif, dan transparan. Pertimbangan berbagai aspek, baik prestasi maupun catatan kelam masa kepemimpinannya, sangat krusial dalam pengambilan keputusan. Proses ini tidak boleh hanya mempertimbangkan satu sisi saja, tetapi harus memperhitungkan dampaknya terhadap bangsa dan negara di masa depan. Keputusan yang diambil harus dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dan tidak melukai rasa keadilan para korban pelanggaran HAM di masa lalu.