Kasus suap yang melibatkan Zarof Ricar sebagai saksi mahkota telah mengungkap praktik korupsi besar-besaran dalam sistem peradilan Indonesia. Pemeriksaan Zarof mengungkapkan penerimaan uang senilai Rp70 miliar dari Sugar Group Companies melalui Nyonya Lee. Uang tersebut terkait upaya Sugar Group untuk menghindari kewajiban pembayaran ganti rugi Rp7 triliun kepada Marubeni Corporation dalam sengketa perdata.
Pengakuan Zarof mengonfirmasi adanya barang bukti berupa uang Rp915 miliar dan 51 kilogram emas, menunjukkan adanya kesepakatan (meeting of minds) antara Zarof sebagai perantara dan Sugar Group sebagai pemberi suap. Tujuannya adalah memenangkan perkara perdata di tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).
Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang dan perintangan penyidikan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah. Mereka menilai perintah Febrie kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menjerat kasus ini dengan pasal gratifikasi, bukan suap, merupakan upaya untuk menggagalkan penyidikan.
Peran Hakim Agung dan Ketua Mahkamah Agung
Dugaan keterlibatan sejumlah hakim agung dalam kasus ini semakin memperparah situasi. Nama-nama seperti Sunarto, Soltoni Mohdally, dan Syamsul Maarif disebut-sebut terlibat dalam memeriksa perkara kasasi dan PK Sugar Group. Koalisi menduga adanya upaya untuk ‘menyandera’ Ketua Mahkamah Agung RI, Sunarto, yang memenangkan Sugar Group dalam perkara perdata tersebut.
Diduga, ‘penyanderaan’ ini bertujuan untuk mengendalikan Sunarto agar perkara-perkara korupsi yang kontroversial tetap divonis bersalah. Ketidakjelasan penetapan pasal suap terkait barang bukti uang dan emas, dinilai sebagai strategi penyimpangan penegakan hukum dan merupakan bentuk perintangan penyidikan (obstruction of justice).
Tindakan tersebut diduga melanggar berbagai peraturan, termasuk Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER–014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa, Peraturan Kejaksaan RI Nomor 4 Tahun 2024, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021, dan Pasal 421 KUHP dan/atau Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Strategi Sugar Group Mengelabuhi Kewajiban Utang
Kasus ini bermula dari lelang aset Sugar Group Companies (SGC) pada tahun 2001. Gunawan Yusuf dan rekan-rekannya memenangkan lelang tersebut, namun menolak membayar utang SGC kepada Marubeni Corporation (MC) sebesar Rp7 triliun. Mereka mengklaim utang tersebut hasil rekayasa antara Salim Group dan MC.
Klaim tersebut terbukti salah. Putusan kasasi telah menyatakan bahwa utang tersebut sah dan harus dibayar. Namun, Gunawan Yusuf mengajukan gugatan baru dengan materi serupa, memanfaatkan celah hukum untuk memperpanjang proses dan menghindari kewajiban membayar. Hal ini menunjukkan upaya sistematis untuk menghindari kewajiban utang melalui jalur hukum.
Berbagai upaya hukum, termasuk kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), diajukan oleh Gunawan Yusuf. Kasus ini melibatkan sejumlah hakim agung dan Ketua Mahkamah Agung, dan diduga adanya intervensi untuk memenangkan Sugar Group dan menghindari kewajiban pembayaran utang.
Bukti dan Nilai Suap
Koalisi mencatat adanya catatan tertulis di kediaman Zarof Ricar yang menunjukkan total nilai suap Sugar Group minimal Rp200 miliar. Catatan tersebut antara lain, “Titipan Lisa”, “Untuk Ronal Tannur: 1466/Pid.2024”, “Pak Kuatkan PN” dan “Pelunasan Perkara Sugar Group Rp200 miliar”.
Uang suap tersebut diduga mempengaruhi keputusan Hakim Agung Syamsul Maarif yang memutus perkara SGC-MC No. 1362 PK/PDT/2024. Ia diduga melanggar pasal 17 UU No. 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan memeriksa perkara yang sebelumnya telah ia tangani. Keputusan yang terkesan terburu-buru menunjukkan potensi intervensi dan pengaruhi keputusan peradilan.
Profil Gunawan Yusuf
Gunawan Yusuf, pemegang saham baru SGC, pernah masuk daftar orang terkaya di Indonesia. Namun, ia memiliki riwayat masalah hukum sebelumnya, termasuk kasus penipuan dan TPPU yang dilaporkan Toh Keng Siong dan kasus pajak senilai Rp494 miliar. Meskipun ada putusan pra peradilan yang memenangkan pelapor, polisi menghentikan penyidikan kasus tersebut.
Kasus ini menunjukkan betapa kompleks dan sistematisnya praktik korupsi di Indonesia, yang melibatkan berbagai pihak mulai dari pengusaha, hingga pejabat tinggi di sistem peradilan. Transparansi dan reformasi di sistem peradilan sangat dibutuhkan agar kasus serupa tidak terulang lagi.