Bupati Jepara, Witiarso Utomo atau Wiwit, dengan tegas menolak pembangunan peternakan babi di daerahnya meskipun ada minat investasi yang cukup besar. Keputusan ini didasarkan pada prinsip keteguhan nilai-nilai religius masyarakat Jepara dan fatwa ulama. Penolakan ini disampaikan saat Wiwit menghadiri sosialisasi hasil Bahtsul Masa’il PCNU Jepara pada 4 Agustus lalu.
Reaksi penolakan dari kalangan keagamaan di Jepara muncul setelah kabar minat investor peternakan babi tersebut tersebar. Baik Majelis Ulama Indonesia (MUI) maupun Nahdlatul Ulama (NU) telah menyatakan sikap mereka terkait hal ini. Wiwit menekankan bahwa setiap kebijakan, termasuk investasi, harus sejalan dengan fatwa MUI dan masukan dari para ulama.
“Setiap kebijakan, termasuk investasi, harus sejalan dengan dawuh kiai dan fatwa dari MUI. Jika tidak ada persetujuan dari MUI, NU, dan tokoh agama lain, kami tidak akan keluarkan izin,” tegas Bupati Wiwit. Pernyataan ini disampaikannya mengutip pemberitaan Radar Kudus pada 6 Agustus. Hal ini menunjukkan komitmen Pemkab Jepara untuk menjaga harmoni sosial dan keagamaan.
Hasil Bahtsul Masa’il PCNU Jepara pada 3 Agustus juga mendukung penolakan tersebut. Melalui Surat Keputusan Nomor 36/PC.01/A.II.01.03/1416/08/2025, PCNU Jepara mengeluarkan tiga rekomendasi kepada pemerintah. Rekomendasi tersebut meliputi larangan pemberian izin pembangunan peternakan babi atau usaha yang bertentangan dengan kultur religius; pentingnya kebijakan yang mengedepankan kesejahteraan dunia dan akhirat; dan penggalian potensi ekonomi dari sumber-sumber halal dan legal.
Surat keputusan tersebut ditandatangani oleh beberapa ulama penting, termasuk Rais Syuriah KH Khayatun Abdullah Hadziq, Katib Syuriah KH M. Nasrullah Huda, Ketua Tanfidziyah KH Charis Rohman, dan Sekretaris KH Ahmad Sahil. Surat tersebut juga ditembuskan ke PBNU dan PWNU Jateng, menunjukkan luasnya dukungan terhadap penolakan ini.
Meskipun investor menawarkan potensi retribusi dan Corporate Social Responsibility (CSR) yang cukup besar, mencapai ratusan miliar rupiah per tahun, Bupati Wiwit tetap teguh pada pendiriannya. Menurutnya, potensi ekonomi bukanlah satu-satunya pertimbangan. Wiwit menjelaskan rencana investor untuk mengimpor indukan babi dengan kapasitas produksi 2–3 juta ekor per tahun, dengan retribusi Rp 300.000 per ekor dan CSR Rp 50–100 miliar.
“Investornya menyampaikan rencana impor indukan babi dengan kapasitas produksi 2–3 juta ekor per tahun. Retribusi yang masuk ke pemkab Rp 300 ribu per ekor, ditambah CSR Rp 50–100 miliar,” jelas Bupati Wiwit. Namun, nilai ekonomi yang besar ini tidak lantas mengubah keputusannya. Prioritas utama tetap pada nilai-nilai keagamaan dan budaya masyarakat Jepara.
“Jepara adalah daerah religius. Kami lebih memilih mendengarkan petuah dan fatwa kiai agar setiap kebijakan tidak melukai nilai-nilai keagamaan masyarakat,” tegas Bupati Wiwit. Keputusan ini menunjukkan prioritas Pemkab Jepara untuk menjaga keharmonisan sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai religius masyarakatnya di atas keuntungan ekonomi jangka pendek. Langkah ini juga memperlihatkan komitmen Pemkab Jepara untuk mendengarkan aspirasi dan masukan dari tokoh agama dan masyarakat.