Indonesia memilih jalur diplomasi dan negosiasi untuk menghadapi pengenaan tarif baru sebesar 32% dari Amerika Serikat (AS), ketimbang melakukan retaliasi atau langkah balasan. Hal ini disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto setelah melakukan rapat koordinasi dengan sejumlah kementerian/lembaga dan asosiasi pengusaha. Keputusan ini sejalan dengan strategi mayoritas negara-negara ASEAN.
“ASEAN akan mengutamakan negosiasi jadi ASEAN tidak mengambil langkah retaliasi, tetapi Indonesia dan Malaysia akan mendorong yang namanya trade investment TIFA (Trade and Investment Framework Agreement),” tegas Airlangga di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Senin (7/4/2025).
Langkah ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto pasca pengumuman tarif baru tersebut. Pemerintah Indonesia aktif menjalin komunikasi intensif dengan pemerintah AS, termasuk melalui US Trade Representative (USTR). USTR menunggu proposal konkret dari Indonesia, dan komunikasi terus dilakukan dengan Presiden.
“Dalam waktu dekat USTR menunggu proposal konkret dari Indonesia dan tentu hari ini kami selalu berkomunikasi dengan Bapak Presiden (Prabowo),” ujar Airlangga.
Strategi Negosiasi Indonesia dan ASEAN
Airlangga juga telah berkomunikasi dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim untuk membahas langkah bersama negara-negara ASEAN. Pertemuan para menteri perdagangan ASEAN direncanakan pada 10 April untuk membahas kesepakatan bersama. Indonesia akan mendorong beberapa kesepakatan dengan beberapa negara ASEAN.
“Indonesia sendiri akan mendorong beberapa kesepakatan dan dengan beberapa negara ASEAN. Menteri perdagangan, saya juga berkomunikasi selain Malaysia juga dengan PM Singapura dengan Kamboja dan yang lain untuk mengkalibrasi sikap bersama ASEAN,” jelasnya.
Indonesia menilai pengenaan tarif AS terhadap negara-negara ASEAN relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia sendiri. AS mulai menerapkan tarif 10% pada 5 April, dan tambahan tarif resiprokal 32% mulai 9 April.
Alasan Tarif Tinggi dan Harapan Negosiasi
Salah satu penyebab tarif tinggi terhadap Indonesia adalah defisit neraca perdagangan AS sebesar US$ 18 miliar. Pemerintah berharap tawaran kemudahan impor, potensi penurunan bea masuk, dan berbagai keringanan pajak dapat mendorong hasil negosiasi yang positif.
Indonesia akan berupaya menawarkan berbagai insentif dan solusi untuk mengurangi defisit perdagangan tersebut. Hal ini bisa mencakup peningkatan akses pasar bagi produk-produk AS di Indonesia, serta memperkuat kerjasama ekonomi bilateral. Diplomasi yang intensif dan komprehensif diharapkan dapat menghasilkan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dampak Potensial dan Antisipasi
Pengenaan tarif baru ini berpotensi berdampak pada beberapa sektor ekspor Indonesia ke AS. Pemerintah perlu melakukan monitoring ketat dan memberikan dukungan bagi pelaku usaha yang terdampak. Program-program diversifikasi pasar ekspor juga perlu ditingkatkan untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Selain itu, pemerintah juga perlu memperkuat kerjasama regional dengan negara-negara ASEAN untuk menghadapi tantangan serupa di masa depan. Kerjasama ekonomi yang solid di tingkat regional akan meningkatkan daya tawar dan daya saing negara-negara ASEAN dalam menghadapi tekanan dari negara-negara besar.
Kesimpulannya, strategi Indonesia dalam menghadapi pengenaan tarif AS adalah melalui negosiasi dan diplomasi, bukan retaliasi. Kerjasama regional ASEAN sangat penting dalam menghadapi tantangan ini dan menciptakan lingkungan perdagangan yang lebih adil dan berkelanjutan.