Bailout BCA: Analisis Mendalam Kasus Akuisisi 51% Sahamnya

Oleh: HM SASMITO HADINAGORO

Sebuah media perbankan baru-baru ini menyebut gagasan meninjau ulang bailout BCA dan rencana pengambilalihan 51% sahamnya oleh negara sebagai ide “sesat”. Namun, benarkah demikian? Ataukah publik selama ini dibiarkan buta akan kebenaran di balik salah satu episode termahal dalam sejarah ekonomi Indonesia? Mari kita telusuri lebih dalam.

Krisis moneter 1997-1998 meluluhlantakkan sistem perbankan Indonesia. Pemerintah saat itu melakukan rekapitalisasi, menerbitkan obligasi senilai ratusan triliun rupiah untuk menyelamatkan bank-bank yang hampir kolaps. Ini berarti seluruh rakyat Indonesia menanggung beban bunga obligasi tersebut melalui APBN setiap tahunnya. BCA menjadi salah satu bank yang paling diuntungkan dari program ini.

Berkat suntikan dana dari obligasi rekap, BCA yang nyaris bangkrut berhasil diselamatkan dan kini menjadi bank swasta terbesar di Indonesia. Namun, kontroversi muncul ketika pemerintah menjual 51% saham BCA kepada investor asing (Farallon, kemudian Djarum Group) pada tahun 2001 hanya dengan harga sekitar Rp 5 triliun.

Baca Juga :  Aman dan Selamat: Demo Udara HUT RI ke-80 Sukses Total

Perbandingannya sangat mencolok. Dengan kapitalisasi pasar BCA saat ini (Agustus 2025) mencapai Rp 1.344 triliun, 51% sahamnya bernilai lebih dari Rp 685 triliun. Selisih harga jual yang fantastis ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kewajaran transaksi tersebut. Apakah harga Rp 5 triliun mencerminkan nilai sebenarnya BCA yang baru saja diselamatkan dengan uang rakyat puluhan triliun rupiah?

Keraguan ini bukan hanya datang dari kalangan awam. Kwik Kian Gie, Menko Ekuin saat itu, menolak memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI karena melihat potensi kerugian negara yang signifikan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam auditnya juga menyinggung indikasi kerugian negara dari skema obligasi rekap. Hal ini memperkuat argumentasi bahwa penjualan saham BCA dengan harga murah bukanlah isu yang sepele.

Meninjau ulang bailout BCA bukan berarti ingin merampas aset bank yang kini sehat. Ini adalah upaya untuk memastikan keadilan dan mengungkap kebenaran di balik keputusan yang berpotensi merugikan negara dan rakyat. Audit yang komprehensif diperlukan untuk mengkaji apakah ada penyimpangan atau konflik kepentingan dalam proses penjualan saham tersebut.

Baca Juga :  Upah Minimum Jatim 2025: Dampak UU Cipta Kerja di Era Prabowo

Negara lain juga melakukan evaluasi serupa terhadap penjualan aset perbankan pasca krisis. Korea Selatan misalnya, melakukan evaluasi menyeluruh atas penjualan aset bank setelah krisis Asia. Keengganan untuk meninjau ulang bailout BCA justru menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

Media yang dengan cepat mencap gagasan ini sebagai “sesat” patut dipertanyakan motivasinya. Apakah mereka berupaya melindungi kepentingan pasar, melindungi pemegang saham pengendali, atau menghindari kegaduhan politik? Sikap defensif semacam ini justru memicu kecurigaan publik.

Saat ini, BCA menikmati laba bersih tahunan lebih dari Rp 50 triliun, sementara beban obligasi rekap masih membebani APBN. Rakyat yang uangnya digunakan untuk menyelamatkan BCA hanya bisa gigit jari melihat pemegang saham pengendali menikmati dividen yang sangat besar.

Baca Juga :  Pati: Donasi Demo Pajak Disita, Warga Geram Tarif Naik 250%

Untuk memastikan keadilan dan transparansi, Presiden dan DPR dapat mengambil beberapa langkah. Pertama, audit ulang menyeluruh oleh BPK dan auditor independen terhadap proses bailout dan penjualan saham BCA. Kedua, membuka dokumen-dokumen terkait, termasuk hasil investigasi BPK, laporan KPK, dan notulensi sidang kabinet. Ketiga, negosiasi konstruktif dengan pemegang saham pengendali untuk mencari skema kompensasi yang menguntungkan negara, seperti peningkatan pajak dividen atau CSR strategis. Terakhir, komunikasi publik yang transparan untuk mencegah politisasi isu ini.

Kesimpulannya, gagasan meninjau ulang bailout BCA bukanlah ide “sesat”. Yang sesat adalah menutup mata terhadap fakta sejarah dan kerugian yang ditanggung rakyat. Audit, transparansi, dan keberanian untuk mengoreksi kesalahan masa lalu adalah langkah moral yang penting untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Rakyat Indonesia berhak mengetahui apakah bailout BCA benar-benar untuk kepentingan rakyat atau hanya untuk segelintir pemilik modal. Suara Senior Citizen dari Yogyakarta, 18 Agustus 2025.

Dapatkan Berita Terupdate dari MerahMaron di: