Kembalinya Foreign Terrorist Fighters (FTFs) ke Indonesia merupakan tantangan keamanan nasional yang kompleks dan memerlukan penanganan terintegrasi. Data BNPT menunjukkan sekitar 1.403 WNI terlibat di Irak dan Suriah, dengan 174 kembali dan 556 dideportasi. Angka ini mencakup 183 perempuan dan 138 anak-anak, menuntut pendekatan sensitif gender dalam program rehabilitasi.
Strategi penanganan harus berbasis bukti dan melibatkan berbagai sektor. Pentingnya kolaborasi antar lembaga pemerintah, seperti BNPT, kepolisian, dan intelijen, sangat krusial untuk keberhasilan upaya ini. Kerja sama internasional juga diperlukan untuk berbagi informasi dan praktik terbaik dalam menangani FTFs.
Aspek Keamanan dan Intelijen
Penguatan kapasitas intelijen sangat penting untuk memantau pergerakan dan aktivitas FTFs yang kembali. Hal ini mencakup pemantauan online untuk mendeteksi propaganda dan perekrutan baru. Sistem peringatan dini yang efektif harus dikembangkan untuk mencegah aksi terorisme. Penggunaan teknologi untuk melacak aktivitas FTFs juga perlu dipertimbangkan, tetapi dengan tetap memperhatikan privasi dan hak asasi manusia.
Penegakan hukum yang tegas tetap diperlukan untuk menindak FTFs yang terbukti melakukan kejahatan terorisme. Namun, pendekatan hukum perlu diimbangi dengan upaya rehabilitasi dan deradikalisasi untuk mencegah radikalisasi ulang.
Rehabilitasi dan Deradikalisasi
Program rehabilitasi dan deradikalisasi harus dirancang secara komprehensif dan berbasis komunitas. Pendekatan berbasis gender sangat penting untuk memenuhi kebutuhan khusus perempuan dan anak-anak. Program ini harus mencakup konseling psikologis, pendidikan keagamaan moderat, pelatihan vokasi, dan dukungan sosial ekonomi.
Keterlibatan keluarga dan tokoh masyarakat sangat penting dalam proses rehabilitasi. Keluarga memainkan peran kunci dalam mendukung reintegrasi mantan FTFs ke masyarakat. Tokoh agama moderat dapat membantu menanamkan nilai-nilai toleransi dan menolak ekstremisme.
Pendekatan Multi-Sektoral
Perbandingan Kebijakan Internasional
Malaysia menggabungkan repatriasi terbatas dengan program deradikalisasi berbasis agama, melibatkan ulama dan psikolog. Belgia mengadopsi pendekatan kombinasi hukum dan sosial, dengan program rehabilitasi berbasis komunitas bagi mereka yang tidak terlibat langsung dalam aktivitas terorisme.
Prancis menerapkan kebijakan tegas dengan penuntutan melalui sistem peradilan pidana, diiringi program deradikalisasi di penjara. Jerman menggunakan pendekatan multidisiplin, melibatkan sistem hukum, lembaga sosial, dan intelijen. Inggris menerapkan “Prevent Strategy” yang bertujuan mencegah radikalisasi sejak dini.
Swedia menawarkan pendekatan reintegrasi sukarela dengan dukungan psikologis, bantuan sosial, dan peluang ekonomi. Setiap negara memiliki pendekatan berbeda, namun kesamaan di antaranya adalah pentingnya kolaborasi multi-sektoral dan pemahaman konteks lokal.
Rekomendasi untuk Indonesia
Indonesia perlu mengintegrasikan strategi keamanan, sosial, dan budaya dalam penanganan FTFs. Ini mencakup penguatan intelijen, penegakan hukum yang adil, dan program rehabilitasi yang komprehensif. Penting untuk memastikan semua tindakan menghormati hak asasi manusia dan tidak diskriminatif.
Kerja sama internasional penting untuk berbagi informasi dan strategi. Pelatihan bersama bagi aparat keamanan juga diperlukan untuk menghadapi tantangan terorisme transnasional. Semua upaya harus selaras dengan nilai-nilai HAM dan prinsip-prinsip berkelanjutan.
Dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, Indonesia dapat mengatasi tantangan kembalinya FTFs, menciptakan masyarakat yang lebih aman dan toleran. Penting untuk diingat bahwa keberhasilan upaya ini tergantung pada komitmen dan kolaborasi semua pihak.
*) Agung Asmara, Mahasiswa Program Doktoral Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (bea S3 Angkatan 10)