PASANG IKLAN ANDA DISINI 081241591996

Revisi UU Polri: Mungkinkah Ada Agenda Tersembunyi di Baliknya?

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) baru saja disahkan, disusul dengan rencana revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri). Proses pengesahan dan perencanaan ini dilakukan di tengah kesibukan masyarakat menghadapi mudik Lebaran. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan potensi tendensi di baliknya.

Kejanggalan ini semakin diperkuat dengan penjelasan Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang menyatakan revisi UU Polri masih menunggu Surat Presiden (Surpres). Namun, naskah akademik revisi UU Polri yang sudah beredar di publik menunjukkan beberapa poin penting yang perlu dikaji secara kritis.

Salah satu poin utama adalah penambahan Pasal 16A dan 16B yang mengatur penyelenggaraan tugas Intelijen Keamanan (Intelkam) Polri. Pasal ini memberikan kewenangan luas kepada Polri dalam menyusun rencana dan kebijakan intelijen sebagai bagian dari kebijakan nasional. Meskipun terlihat sebagai upaya memperkuat Polri, potensi tumpang tindih kewenangan dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI menjadi perhatian serius.

Kekhawatiran Terkait Perluasan Kewenangan Polri

Perluasan kewenangan Polri ke ranah intelijen, keamanan siber, dan tugas strategis lainnya berpotensi menimbulkan gesekan antar lembaga. Koordinasi yang kurang efektif dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional. Kekhawatiran ini semakin besar karena naskah akademik revisi UU Polri tidak menjadikan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai teori dasar penyusunan kebijakan.

Baca Juga :  Refleksi Peran Mahasiswa dalam Masyarakat

Hal ini sangat memprihatinkan mengingat pentingnya perlindungan HAM dalam setiap tindakan kepolisian. Praktik di negara-negara demokrasi maju seperti Inggris dan Jerman menunjukkan pemisahan yang tegas antara fungsi kepolisian dan intelijen. Di Inggris, MI5 menangani intelijen domestik, MI6 intelijen luar negeri, dan GCHQ intelijen siber. Kepolisian hanya fokus pada investigasi dan penegakan hukum.

Model serupa juga diterapkan di Jerman, dengan pemisahan yang jelas antara kepolisian (Bundeskriminalamt dan Landeskriminalamt) dan badan intelijen (BfV dan BND). Pemisahan ini bertujuan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM seperti yang terjadi di masa lalu.

Baca Juga :  Pendidikan: Pilar Kokoh Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia

Reformasi Polri: Lebih dari Sekadar Perluasan Kewenangan

Di Indonesia, reformasi kepolisian telah dimulai pasca TAP MPR No. VI dan VII/MPR/2000, yang menekankan paradigma Civilian Police. Namun, tantangan dalam membangun kepolisian yang profesional dan transparan masih besar. Budaya militeristik yang belum sepenuhnya hilang masih menjadi kendala utama.

Minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan lemahnya pengawasan internal terus menjadi masalah. Kasus-kasus kekerasan aparat, penggunaan kekuatan berlebihan, dan dugaan keterlibatan oknum Polri dalam tindak pidana korupsi terus mengikis kepercayaan publik.

Revisi UU Polri seharusnya lebih fokus pada peningkatan profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas kepolisian, bukan sekadar perluasan kewenangan. Reformasi harus meliputi peningkatan pendidikan dan pelatihan anggota Polri yang menekankan penegakan hukum berkeadilan, penghormatan HAM, dan pelayanan publik yang transparan.

Baca Juga :  Lilin Kecil, Harapan Negeri: Menyulut Revolusi Antikorupsi di Indonesia

Pentingnya Partisipasi Publik dan Perencanaan yang Matang

Penguatan mekanisme pengawasan internal dan eksternal sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Reformasi sistem rekrutmen dan kesejahteraan anggota Polri juga perlu dilakukan untuk mencegah korupsi dan nepotisme. Peningkatan kesejahteraan akan mengurangi godaan bagi anggota untuk menyalahgunakan jabatan.

Konsep community policing perlu dikembangkan untuk meningkatkan kerja sama antara polisi dan masyarakat. Sebelum revisi UU Polri disahkan, DPR RI perlu menyerap aspirasi dari berbagai kalangan, termasuk akademisi dan masyarakat sipil. Mengandalkan judicial review sebagai solusi akhir bukanlah pendekatan yang ideal.

Revisi UU Polri dan UU TNI yang dilakukan secara berdekatan menimbulkan pertanyaan besar. Reformasi Polri harus menyeluruh, berfokus pada pembangunan institusi yang akuntabel dan mampu mendapatkan kembali kepercayaan publik. Reformasi sejati bukanlah tentang perluasan kekuasaan, melainkan tentang membangun institusi yang profesional, transparan, dan menjunjung tinggi HAM.

*) Hikam Hulwanullah, Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Surabaya

Dapatkan Berita Terupdate dari MerahMaron di:

PASANG IKLAN ANDA DISINI
PASANG IKLAN ANDA DISINI